Sabtu, 05 Maret 2011

Uang Kalahkan Aturan, Kloning Izin pun Jadi

JAKARTA - Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPTI) menilai upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menertibkan minimarket bodong sudah terlambat.
Pasalnya, sejak 2004 lalu Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia sudah mendesak agar Pemerintah segera menindak banyaknya minimarket ilegal di Jakarta.

Namun desakan tersebut bagaikan angin lalu tanpa bekas. Gubernur DKI Jakarta saat itu hanya menyerahkan tugas pembenahan minimarket kepada bawahannya, para wali kota. "Jawaban Gubernur diserahkan ke wali kota," terang Sekjen Ngadiran kepada okezone di Jakarta, baru-baru ini.

Pada 2006 usaha pemerintah untuk menertibkan minimarket di Jakarta nampak terlihat dengan adanya Instruksi Gubernur, Peraturan Gubernur juga diperkuat dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 112 tahun 2007 tentang mengatur keberadaan pasar tradisional dan pasar modern.
Selanjutnya keluar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 53 Tahun 2008 tentang syarat berdirinya pasar modern. Namun disela-sela keluarnya Perpres dan Permendagri, menurut Ngadiran keberadaan pasar modern seperti minimarket semakin menjamur. "Peraturan memang ada, tapi kan sekali lagi uang yang berbicara, uang yang lebih kuat dibandingkan peraturan," tegasnya.

Dikatakannya, memang tak semua minimarket berdiri ilegal, banyak juga yang sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pemerintah. Namun yang menjadi pertanyannya, bagaimana minimarket bisa berdiri setelah terbit peraturan gubernur yang tidak memberikan izin pendirian. Sebab itu, beberapa izin minimarket ditengarai menggunakan izin minimarket yang resmi berdiri sebelum 2006. "Jadi mereka kloning dengan yang resmi. Ini kan melanggar pergub, perpres dan permendagri," jelasnya.

Menurut Ngadiran, walaupun dampak dari toko modern ini dirasakan 12 ribu anggota APPTI, langkah pemerintah dinilai sudah terlambat. Namun demikian, pemerintah harus serius melakukan penertiban terhadap minimarket yang ilegal. "Makanya harus segera dirapihkan yang melanggar bila perlu robohkan," pintanya tegas.

Dia bersama anggota lainnya sangat merasakan langsung dampak derasnya pertumbuhan mini market. Beberapa toko di pasar tradisional tergerus penghasilannya. Pasalnya, warung-warung di kampung yang biasanya mengambil barang di pasar tradisional sudah gulung tikar.

Beberapa warung pendapatannya menurun biasanya pendapatan per hari Rp350 ribu sekarang ini hanya Rp 200 ribu. "Jadi pembeli sekarang sudah berpindah jadinya banyak yang bangkrut, terus siapa yang belanja ke kita kalau sudah pada bangkrut," tanyanya.

Sementara ini, kata Ngadiran, dirinya masih membawa masalah ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta sebagai pengawas pemerintah. Dia berharap banyak wakil rakyat bisa mendorong adanya jalan keluar dari permasalahan ini. Namun, tambahnya APPTI Tak segan-segan membawa masalah ini ke ranah hukum jika wakil rakyat juga tidak bisa diandalkan.

"Kalau kita bawa ke ranah hukum sekarang pasti kita kalah, karena apa-apa harus disogok. Kita datang ke polisi juga harus ngasih uang. Masalah hukum masih mimpi bagi rakyat miskin," tegas Ngadiran dengan logat Jawanya yang kental.

Sumber : okezone.com

Tidak ada komentar: