Minggu, 13 Maret 2011

Jual Kue Khas Aceh sebagai Penopang Hidup

Penganan dari Lampisang sekarang kerap menjadi buah tangan bagi warga yang bepergian. Mobil-mobil yang melintas di Jalan Banda Aceh-Meulaboh sering berhenti sekadar membelinya sebagai oleh-oleh. Lampisang juga menjadi pusat pemesanan kue bagi warga yang punya hajatan.

Lampisang sudah menjadi sentra penganan Aceh sejak dulu. Konon di masa Kesultanan Aceh berabad silam, Lampisang juga menjadi satu-satunya pemasok kue untuk Istana kala itu. Penganan dari sana menjadi hidangan untuk para raja Aceh.

“Raja-raja memesan kue ke Lampisang karena di sini memang terkenal dengan penganan khas Aceh sejak dulu,” kata Keusyik (Kepala Desa) Lampisang, Abdullah Yusuf (63).

Lampisang kampong yang diapit dua bukit, memiliki 218 kepala keluarga. Mayoritas perempuan di sana menggeluti kerajaninan membuat kue khas Aceh.

Yusuf menyebutkan, kerajinan yang dilakoni secara turun temurun itu sekarang mampu membangkitkan perekonomian warga yang sempat terpuruk saat konflik dan tsunami menghantam Aceh.

“Warga bisa mendapat Rp500 ribu sampai Rp2 juta dalam sehari dari pekerjaan ini,” ujar Yusuf.

Bangkitnya kembali Lampisang tak terlepas dari peran NGO-NGO (non-goverment organisation) yang memberi modal usaha dan pembinaaan bagi warga pascatsunami.

Wardiana, seorang pengrajin kue khas Aceh mengakuinya. “Rata-rata pendapatan kotor saya sehari bisa Rp2 juta sampai Rp3 juta,” kata dia. Wardina sudah menjadikan kerajinan ini sebagai pekerjaan utamanya. Dia meneruskan bisnis warisan orangtuanya, Sadiah Nyak Cut.

Persaingan antarperajin dalam merebut konsumen sangat fair. “Kami rata-rata sudah memiliki langganan masing-masing, jadi kerja kami hanya menjaga citarasa, tidak saling jegal. Kami saling menghormati,” kata Wardiana.

Demi menjaga kekhasan, warga Lampisang menolak menggunakan peralatan modern dalam membuat kue. Pemerintah Daerah pernah memberi peralatan canggih, mixer dan oven pada 2009, untuk membantu perajin kue di Lampisang. Sayangnya, warga tak bisa menggunakannya. “Kalau kami pakai itu, citarasa tidak khas lagi. Memang tidak cocok,” sebut Wardiana.

Di tengah gempuran berbagai penganan modern seperti bakery, black forest, dan kue serupa, penganan khas Aceh tetap memiliki tempat. “Tidak ada pengaruh berarti, karena yang khas tetap selalu dicari,” kata Wardiana optimistis bisnisnya tak terganggu.

Sayangnya kue-kue khas Aceh sekarang hanya bisa dipasarkan di Provinsi Serambi Mekkah itu. Soal tahan lama menjadi penyebab utamanya. “Rata-rata kue kita hanya tahan tiga hari, makanya sampai sekarang sulit dipasarkan ke luar,” jelas Wardiana.

“Kami belum menemukan pengawet yang alami, jika pengawet kimia banyak dijual di pasaran tetapi kami tidak bisa memakainya. Kalau kami pakai bahan kimia maka citarasa khas bisa berubah,” tambah dia.

Lampisang terus mewarisi tradisi nenek moyang. Membuat penganan khas Aceh sekarang bukan lagi monopoli orang dewasa. Para anak-anak di kampung itu mulai diajak agar tradisi terus bertahan. “Ini salah satu agar tradisi ini tidak hilang,” tutur Yusuf.

Sumber : okezone.com

Tidak ada komentar: