Sabtu, 05 Maret 2011

Dilema Toko Modern Vs Pasar Tradisional

JAKARTA - Tiba-tiba saya teringat pada narasi buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk tingkat Sekolah Dasar. Zaman dulu ketika masih bocah, guru kerap menuntun murid membacakan naskah yang kurang lebih berbunyi seperti ini, “Bapak pergi ke kantor kalau ibu pergi ke pasar.”

Barangkali bila disesuaikan dengan situasi sekarang, teksnya akan sedikit mengalami penyesuaian. Yah, tidak lagi pergi ke pasar melainkan mal atau supermarket. Itulah tanda zaman yang sudah berubah. Kini era modern yang serba kemasan praktis dengan sentuhan teknologi canggih telah mengubah pola pikir, sikap, dan kebiasaan masyarakat.

Ibarat jamur di musim penghujan, toko modern atau minimarket, supermarket dan hipermarket tumbuh subur di mana-mana dengan menyajikan gaya hidup masa kini. Namun di sisi lain, jumlah pasar tradisional terus menyusut. Pasar paling tua dalam peradaban manusia di ambang keterpurukan.

Kalah pamor dengan pasar modern yang memamerkan kegenitannya. Tak pelak, membuat pengunjungnya betah berlama-lama di sana. Dengan penataan yang bagus, ruangan ber-AC, tata parkir yang nyaman, pengunjung dibikin terpesona.

Barang apa saja tersedia di sana dan harganya juga semakin terjangkau bagi kalangan berkantong pas-pasa. Apakah tuntutan cari untuk sebanyak-banyaknya atau emang ingin memanjakan pelanggannya, ada beberapa peritel yang menyatakan siap melayani kapan saja alias buka 24 jam.

Kehadiran pasar-pasar modern itulah yang membuat pengunjung kian enggan berbelanja di pasar-pasar tradisional. Tapi tidak bisa disalahkan juga konsumen akan mencari lokasi yang nyaman dan aman. Barangkali juga karena pasar tradisional imejnya masih identik dengan suasana semrawut, bau, kotor, dan becek. Belum lagi faktor keamanan, misalnya copet atau preman yang kadang memang suka nongkrong di pojok-pojok pasar.

Sejatinya pasar-pasar tradisional tersebut harus tetap menjadi perhatian pemerintah. Sebenarnya, ada Perpres Nomor 112 tahun 2007 tentang Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang bertujuan untuk memberi perlindungan pada pasar tradisional.

Namun demikian sering kali pengaturan jarak, zona, dan batasan-batasannya yang sudah ditetapkan dalam perpres tersebut tidak dipatuhi. Saat ini pasar tradisional di Indonesia diperkirakan lebih dari 11.000-an dengan jumlah pedagang mencapai 12,5 juta.

Jika digabungkan dengan anak dan istri, termasuk pemasok, kira-kira orang yang terlibat di pasar tradional mencapai 50 juta orang. Selain itu, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada lorong-lorong pasar, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak. Bisa dibayangkan bila kelak di kemudian hari pasar tersebut harus tutup, bagaimana nasib mereka?.

Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) mendesak dibuatnya kuota yang membatasi jumlah minimarket di suatu wilayah, menyusul makin menjamurnya toko modern skala terkecil tersebut. Deputi Kerjasama dan Investasi Asparindo Suhendro meminta pemerintah daerah di seluruh Indonesia mengeluarkan kebijakan seperti yang dilakukan Sragen dan Bantul yang hanya memperbolehkan 1-2 minimarket di satu kecamatan.

"Asparindo sudah mengirimkan surat ke Menteri Perdagangan agar dibuatkan aturan kuota minimarket, apalagi minimarket sampai sekarang ini baik di perpres dan permendag belum ada aturan yang jelas," katanya dalam perbincangan dengan okezone, baru-baru ini.

Menurut dia, makin ekspansifnya gerai minimarket dengan luas dibawah 400 m2 tersebut karena tidak adanya penataan. Akibatnya, tidak hanya omzet pedagang pasar tradisional saja yang tergerogoti, melainkan antarminimarket itu sendiri juga saling bersaing ketat karena jumlahnya yang terus bertambah di satu wilayah.

Asparindo juga menilai harapan pewarung dan wirausaha kecil ikut terangkat bisnisnya dengan menciptakan ritel skala minimarket juga tidak terwujud. Mengingat yang terus tumbuh adalah minimarket berjaringan dari perusahaan besar. "Yang aktif melakukan ekspansi minimarket adalah peritel besar yang sudah menguasai jaringan distribusi," kata Suhendro.

Untuk itu, Asparindo menyatakan dukungannya atas kebijakan yang dilakukan Bupati Sragen yang hanya memperbolehkan dua minimarket di satu kecamatan, atau seperti yang dilakukan di Bantul dengan satu minimarket per kecamatan.

Suhendro juga mendesak dilakukan kuota yang mempertimbangkan jumlah minimarket dengan jumlah penduduk di satu daerah. Dengan kuota tersebut, akan mengatasi omzet pedagang pasar tradisional yang terus tergerus seiring dengan maraknya pertumbuhan minimarket saat ini. "Harus diingat bahwa sekitar 20 persen angkatan kerja di dalam negeri disumbang oleh sektor perdagangan, terutama dari aktivitas di pasar tradisional," ungkap Suhendro.

Sumber : Okezone.com

Tidak ada komentar: