Minggu, 13 Maret 2011

Cara China Kurangi Angka Putus Sekolah


LINXIA - Pihak berwenang di prefektur otonom muslim Hui di Provinsi Gansu, China, berusaha memerangi kemiskinan dan diskriminasi gender. Caranya, membiarkan anak perempuan usia sekolah memperoleh pendidikan. Hasilnya pun menggembirakan.

Pasalnya, pekan lalu, pihak berwenang merilis jumlah anak usia sekolah yang belajar di bangku SD dan SMP di delapan kabupaten, mencapai 95,5 persen.

”Ini menunjukkan pendidikan anak perempuan, masalah yang mengusik kami beberapa dekade sudah diselesaikan hingga batas tertentu,” kata Wakil Kepala Pendidikan Linxia, Ma Yongming, seperti dikutip Xinhua, Rabu (9/3/2011).

Linxia dijuluki sebagai “Mekkah-nya China”, karena lebih dari satu juta penduduknya merupakan warga Muslim. Hingga pertengahan 90-an, hanya 60 persen anak perempuan yang bersekolah. Pendidikan yang tidak memadai membuat 80 persen wanita dengan usia 15 tahun ke atas, buta huruf.

“Beberapa orang tua menolak mengirim anak perempuannya ke sekolah karena kemiskinan, sementara banyak orang lainnya percaya sekolah hanya membuang-buang uang, karena putri mereka akan menikah. Sekolah bukan investasi yang menguntungkan,” kata Ma.

“Orangtua ragu-ragu mengirim anak mereka ke sekolah. Bahkan beberapa orang enggan mengirim anak ke sekolah meski gratis,” ujar Wakil Presiden Beiling Village Primary School, Tang Yuwen.

Untuk menjamin akses yang sama untuk semua anak, Departemen Pendidikan Provinsi Gansu meluncurkan proyek penelitian Sino-Inggris, yang merupakan proyek penelitian bersama pada 1999. Proyek berbasis pendidikan dasar selama enam tahun ini bertujuan meningkatkan fasilitas sekolah dan standar pengajaran di Linxia.

Proyek ini juga menawarkan beasiswa untuk anak perempuan dan melatih perempuan muda menjadi guru yang kompeten di sekolah desa.

Mulai 2006, pemerintah Cina menghapus kendala terbesar yang membuat anak perempuan tidak sekolah, yaitu membebaskan biaya bagi semua siswa sekolah dasar dan menengah di wilayah barat China, yang termasuk wilayah terbelakang. Pejabat di Linxia mengambil kesempatan ini untuk mempengaruhi orang tua agar mendaftarkan semua anak ke sekolah.

“Kami terus mengunjungi para orang tua hingga mereka mengirim kembali anak-anak ke sekolah,” kata Ma.

Dan hasilnya, tahun lalu, hampir semua anak usia sekolah di Linxia menjalani pendidikan di bangku sekolah, kecuali beberapa orang yang mengalami keterbelakangan mental atau cacat fisik.

Pada 1986, pemerintah pusat China meluncurkan kebijakan pendidikan wajib sembilan tahun. Ini membuat pendidikan SD dan SMP wajib untuk anak usia enam tahun ke atas. Namun bagi Ma dan rekan-rekannya yang berada di daerah tertinggal, menjaga anak agar tetap bersekolah, masih sulit. “Ini tetap menjadi tantangan selama tahun-tahun mendatang,” pungkasnya

Sumber : okezone.com

Tidak ada komentar: