Minggu, 06 Maret 2011

Stres Tingkatkan Risiko Gejala PMS

PENELITIAN yang dipublikasikan Journal of Women’s Health membuktikan sindrom pramenstruasi atau premenstrual syndrome (PMS) dirasakan lebih serius pada wanita yang mengidap stres sebelum tiba waktunya siklus menstruasi.

Perasaan yang tengah dilanda stres pada minggu-minggu menjelang kemunculan siklus menstruasi (mens) ternyata dapat meninggikan risiko gejala PMS yang lebih serius.

Wanita yang dilaporkan sedang mengalami tekanan stres yang tinggi sekitar dua minggu sebelum mereka mendapatkan menstruasi, memiliki risiko dua hingga tiga kali untuk mengalami depresi, perasaan sedih, menangis, termasuk gejala PMS lainnya, seperti nyeri tubuh, kembung, keluhan sakit punggung, kram, dan sakit kepala.

Risiko tentunya lebih tinggi ketimbang wanita yang tidak merasakan stres menjelang waktu menstruasi mereka. Penelitian ini berdasarkan studi yang diterbitkan oleh Journal of Women’s Health.

“Stres yang muncul menjelang siklus mens adalah faktor risiko PMS. Wanita dapat mengatasinya atau mencegah gejala PMS dengan berlatih yoga atau meditasi,” kata seorang peneliti Audra L Gollenberg PhD. Doktor dari Institut Nasional Kesehatan Anak di Bethesda Md Ini juga menyebut, gejala PMS mungkin tidak akan hilang seluruhnya.

“Tetapi teknik meredam stres dapat membuat gejala PMS yang dirasakan dapat dikurangi,” kata Audra menjelaskan pada webmd.com.

"PMS adalah kumpulan gejala fisik, psikologis, dan emosi yang terkait dengan siklus menstruasi wanita. Sekitar 80 persen hingga 95 persen wanita pada usia subur mengalami gejala-gejala pramenstruasi yang dapat mengganggu beberapa aspek dalam kehidupannya," tuturnya.

Gejala tersebut dapat diperkirakan dan biasanya terjadi secara reguler pada dua minggu periode sebelum menstruasi. Hal ini dapat hilang begitu dimulainya pendarahan,namun dapat pula berlanjut setelahnya. Pada sekitar 14 persen perempuan antara usia 20 hingga 35 tahun,sindrom pramenstruasi dapat sangat hebat pengaruhnya sehingga mengharuskan mereka beristirahat dari sekolah atau kantornya.

Audra menyatakan, lebih dari 50 persen wanita melaporkan menderita PMS pada derajat yang lebih serius. Hal ini menyebabkan aktivitas keseharian mereka menjadi terganggu. Misalnya saja absen bekerja atau sekolah. Audra yang kini menjabat sebagai asisten profesor divisi Kesehatan Masyarakat di Universitas Shenandoah, Winchester menjelaskan,andaikata wanita dapat mengatasi masalah PMS ini tanpa mengandalkan obat-obatan tentunya merupakan langkah yang baik.

Studi yang dilakukan oleh Audra melibatkan tak kurang dari 259 wanita dengan kisaran usia 18-44 tahun. Mereka diharuskan mengisi kuesioner yang berkaitan dengan tingkat stres yang dialami serta gejala fisik dan psikologis PMS yang juga dialami selama periode menstruasi mereka.

Para wanita ini juga dianalisa masa suburnya menggunakan monitor fertilitas. Mereka kemudian melaporkan informasi ini kepada tim peneliti selama dua periode menstruasinya.

Di antara wanita yang diteliti tingkat stresnya dan gejala PMS yang dialami selama dua kali periode menstruasi,mereka yang mengeluh stres pada periode menstruasi pertama biasanya mengalami gejala PMS yang lebih berat atau serius. Adapun wanita yang mengeluhkan stres pada periode menstruasi pertama dan kedua, malah akan mengalami gejala PMS 25 kali lebih berat.

“Melakukan kegiatan untuk meredakan stres kemudian mengujinya apakah dapat mengurangi gejala PMS, merupakan langkah selanjutnya yang menarik untuk diteliti,” ujar Audra.

Kebanyakan perawatan untuk mengatasi gejala PMS ini hanya menyasar untuk pemulihan pada masa itu atau pada bulan itu. “Namun, hal ini akhirnya membuka mata saya dan semoga orang banyak, bahwa kita mempunyai peluang lebih besar untuk mengontrol gejala PMS dan membuat perubahan besar bagi wanita,” ujar Asisten profesor Obgyn Shari Brasner dari sekolah kedokteran Mount Sinai di New York.

Shari juga sependapat dengan Audra bahwa melawan gejala PMS dengan strategi non-farmakologi akan lebih efektif.

“Misalnya dengan cara relaksasi dan konseling yang dapat membantu wanita untuk meredam stresnya,” kata Shari. Namun dia tidak yakin mana yang lebih dulu atau mana yang merupakan sebab dan mana yang akibat. Apakah stres yang memicu PMS atau kegelisahan menjelang PMS yang menyebabkan stres.

“Ini seperti pertanyaan mana lebih dulu telur atau ayam,” katanya.

PMS mempunyai tipe dan gejala yang bermacam-macam. Dr Guy E Abraham, ahli kandungan dan kebidanan dari Fakultas Kedokteran UCLA, AS, membagi PMS menurut gejalanya, yakni PMS tipe A, H, C, dan D. Setiap tipe memiliki gejalanya sendiri. PMS tipe A (anxiety) ditandai dengan gejala seperti rasa cemas, sensitif, saraf tegang, dan perasaan labil.

PMS tipe H (hyperhydration) memiliki gejala edema (pembengkakan), perut kembung, nyeri pada buah dada, pembengkakan tangan dan kaki, peningkatan berat badan sebelum haid. PMS tipe C (craving) ditandai dengan rasa lapar ingin mengonsumsi makanan yang manis-manis (biasanya cokelat) dan karbohidrat sederhana (biasanya gula).

PMS tipe D (depression) ditandai dengan gejala rasa depresi, ingin menangis, lemah, gangguan tidur, pelupa, bingung, sulit dalam mengucapkan kata-kata (verbalisasi), bahkan kadang-kadang muncul rasa ingin bunuh diri atau mencoba bunuh diri.

Sumber : okezone.com

Tidak ada komentar: