Selasa, 09 Maret 2010

Kesehatan Jiwa

Menurutnya, jumlah psikiatri di sebagian besar negara berkembang hanya sekitar 0-1 per 100 ribu penduduk dan belum tersebar merata. Dari jumlah itu, sekitar 65,1 persen psikiatri melakukan praktik di rumah sakit jiwa, 15,9 persennya berpraktik di rumah sakit umum dan 19,0 persennya berpraktik di tempat-tempat praktik khusus. "Sarana pelayanan kesehatan jiwa belum berada di dekat komunitas, sehingga tidak mampu menjangkau semua sasaran," ujarnya.

Kualitas pelayanan gangguan kesehatan jiwa pun, menurut Saraceno, rata-rata masih buruk sehingga penderita enggan atau jera me-meriksakan diri atau mendapatkan perawatan dari sarana pelayanan kesehatan jiwa yang ada. "Di beberapa negara, biaya perawatan gangguan kesehatan jiwa sangat tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh semua kalangan," katanya.

Selain itu, Saraceno menambahkan, stigma yang me-lekat pada masalah-masalah gangguan jiwa, membuat penderita enggan atau tidak mau memeriksakan diri dan mendapatkan perawatan.

Guna mengantisipasi masalah itu, Saraceno meminta pada semua pihak, termasuk pembuat kebijakan, untuk gencar melakukan sosialisasi sehingga bisa menggeser paradigma tentang gangguan kesehatan jiwa.

Dia mengatakan, masalah gangguan kesehatan jiwa tidak bisa hanya dilihat dari jumlah pasien di rumah sakit jiwa atau jumlah orang gila yang bisa diatasi dengan membangun rumah sakit jiwa tetapi harus dilihat secara menyeluruh.

"Karena masalah ini tidak hanya tentang orang gila, tetapi juga tentang gangguan emosional lainnya seperti depresi, kekerasan terhadap anak dan yang lainnya," kata Saraceno.

Penanganan gangguan kesehatan jiwa, menurut Saraceno, harus digeser dari metode biomedikal menjadi biopsikososial, dari jangka pendek menjadi jangka panjang, dari perawatan menjadi pelayanan, dan dari pendekatan klinis ke pendekatan kesehatan masyarakat.

"Sistem pelayanan gangguan kesehatan jiwa di rumah sakit harus digeser menjadi sistem pelayanan kesehatan jiwa komunitas. Pelayanan gangguan kesehatan jiwa harus disediakan di sarana kesehatan primer, karena rumah sakit jiwa bukan solusi tepat dalam hal ini," katanya menegaskan.

Pada kesempatan Saraceno juga menyinggung soal proporsi alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa yang rata-rata masih sangat kecil dibandingkan total anggaran untuk kesehatan. Persentase alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa dari total anggaran di bidang kesehatan di negara berpenghasilan rendah, menengah ke bawah dan tinggi masing-masing hanya sebesar 1,5 persen, 2,78 persen dan 3,49 persen.

"Di negara dengan penghasilan sangat tinggi pun alokasi anggaran untuk kesehatan jiwanya tidak besar," tambahnya.

Menurut Saraceno rata-rata anggaran yang dibutuhkan untuk kesehatan jiwa sebesar 13 persen dari total anggaran kesehatan, namun yang dapat disediakan oleh setiap negara saat ini rata-rata baru 2,0 persen.

Selain itu, ia melanjutkan, politisi dan pembuat kebijakan belum sepenuhnya memahami masalah gangguan kesehatan jiwa sehingga mereka tidak membuat kebijakan yang mendukung upaya penanganan masalah kesehatan jiwa.

"Gangguan kesehatan jiwa selalu diartikan dengan gila sehingga mereka pikir membangun rumah sakit jiwa adalah solusi. Itu salah, karena gangguan kesehatan jiwa juga meliputi depresi dan gangguan emosional yang lain, termasuk jika Anda bertengkar dengan suami atau istri, bunuh diri atau kekerasan terhadap anak," jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, minimnya perhatian negara-negara di dunia terhadap masalah gangguan kesehatan jiwa juga terlihat dari masih rendahnya tindakan preventif dan promotif yang dilakukan untuk mencegah atau meminimalkan kasus gangguan kesehatan jiwa.

Hal itu terlihat dari hasil studi Bank Dunia tahun 1995 di beberapa negara yang menunjukkan bahwa 8,1 persen hari-hari produktif hilang akibat beban penyakit disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa.

Saraceno menjelaskan pula bunuh diri, yang terjadi karena gangguan kesehatan jiwa, merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di beberapa negara.

Ia mencontohkan, menurut studi yang dilakukan pada penduduk usia 15-35 tahun pada 1998, bunuh diri merupakan penyebab kematian pertama di China dan penyebab kematian kedua setelah kecelakaan lalu lintas di Eropa.

Tidak ada komentar: